Beranda | Artikel
Mata Uang Menurut Islam
Senin, 1 Desember 2014

Majalah Cetak Penguhas Muslim Indonesia Edisi Mei 2012

Beberapa kalangan mewajibkan kembali ke Dinar emas dan Dirham perak. Mereka menganggap rupiah tidak memenuhi kriteria mata uang syar’i. Bagaimana sejatinya kriteria mata uang dalam Islam?

Ditulis oleh: Ustad Dr. Erwandi Tarmizi, MA

Sifat emas dan perak yang nilainya lebih permanen sebagai mata uang dari masa ke masa disebabkan nilainya yang bertumpu pada zatnya, dan bukan pada pengakuan kelompok orang atau negara. Hal ini membuat mata uang emas dan perak stabil nilainya, kapan dan di mana pun, hampir tidak pernah mengalami perubahan. Sifat ini cocok untuk kriteria mata uang sebagai ukuran harga barang dan jasa, karena standar ukuran haruslah stabil dan tidak berubah-ubah (fluktuatif). (Al-Mutrik, Ar Riba wal muamalat al mashrafiyyah, hal. 106)

Oleh karena itu sebagian fuqaha yang bermazhab Syafi’i menyatakan, ‘illat  riba mata uang emas dan perak berada pada zatnya yang mereka namakan jawhariyah ats-tsamaniyah. Konsekuensinya, di antara persyaratan sebuah mata uang adalah materinya berasal dari emas atau perak. Karena itu, mata uang yang terbuat dari benda atau logam lain tidak dapat dianggap sebagai mata uang (menurut syafi’iyah) sekalipun digunakan orang-orang sebagai alat tukar. Uang selain emas dan perak tidak terkena zakat emas dan perak dan tidak terkena riba, boleh ditukar tidak tunai dan berlebih nominalnya.

An-Nawawi berkata, “Illat riba pada mata uang emas dan perak adalah jawhariyah ats-tsamaniyah (nilai zat alat tukar). Termasuk dalam hal ini emas/perak yang masih mentah, emas/perak yang telah dicetak, emas/perak perhiasan, dan bejana emas/perak. Dan pendapat yang terkuat dalam mazhab (Syafi’i) bahwa riba tidak berlaku pada uang yang terbuat dari tembaga, besi, timah dan logam lainnya.” (Raudhah At-thalibin, 3/380)

Namun dalil yang menjadi pegangan pendapat tersebut tidak kuat, karena riba diharamkan dengan alasan mengandung kezaliman terhadap manusia dan kezaliman sebagaimana terdapat pada mata uang emas dan perak juga terdapat pada mata uang yang terbuat dari materi lain. Bila seseorang meminjam uang yang terbuat dari kertas Rp 10 juta dan diharuskan membayar Rp 11 juta, dalam kasus ini, peminjam juga terzalimi Rp 1 juta. Sama halnya dengan dia meminjam Dinar emas 10 keping dan harus mengembalikan 11 keping.

Oleh karena itu, sebagian ulama mazhab Maliki dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad, serta pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim, bahwa illat riba emas dan perak adalah Muthlaq Ats-Tsamaniyyah (status sebagai alat tukar). Maka, apa pun bendanya yang digunakan manusia sebagai alat tukar barang dan jasa, dapat dianggap sebagai uang. Uang selain emas dan perak, juga berlaku ketentuan zakat emas dan perak serta tidak boleh ditukar sejenis dengan nominal yang berbeda dan harus ditukar tunai, sebagaimana aturan yang berlaku untuk emas dan perak.

Diriwayatkan dari Umar bin Khattab, ia berkata, “Aku berkeingingan untuk membuat uang dari kulit unta”. Lalu dikatakan kepadanya, “Kalau begitu, tidak akan ada lagi unta! Lalu Umar mengurungkan niatnya.” (Tafsir Shan’aniy, 3/93)

Imam Malik berkata, “Andaikan orang-orang membuat uang dari kulit dan dijadikan alat tukar oleh mereka, maka saya melarang uang kulit itu ditukar dengan emas dan perak dengan cara tidak tunai.” (Al-Mudawwanah Al-Kubra, 3/90).

Ibnu Hazm mengatakan, “Segala sesuatu yang boleh diperjual-belikan dapat digunakan sebagai alat tukar, dan tidak terdapat satu nash pun yang menyatakan bahwa uang haruslah terbuat dari emas dan perak.” (Al-Muhalla, 8/477)

Ibnu Taimiyah juga berkata, “Terkait Dinar dan Dirham, tidak ada batasan bahwa harus yang dicetak dan tidak ada juga batasan syar’i. Karena itu, material uang merujuk kepada ‘urf (kesepakatan masyarakat) dan kesepakatan para penggunanya. Sebagian ulama berkata, “Uang adalah suatu benda yang disepakati oleh para penggunanya sebagai (alat tukar), sekalipun terbuat dari sepotong batu atau kayu.” (Majmu’ Fatawa, 19/251).

Pendapat kedua dalam hal ini lebih kuat, karena tidak ada satu pun nash yang menyatakan bahwa uang harus berasal dari emas dan perak. Bila tidak ada nash dalam kasus ini maka dikembalikan kepada ‘urf atau kesepakatan yang berlaku. Sementara saat ini, uang yang berlaku adalah uang kartal, karena itu, statusnya dapat disamakan dengan uang emas dan perak. Pendapat kedua ini didukung para ulama kontemporer dalam keputusan Muktamar ke-3 Organisasi Kerjasama Islam yang diselenggarakan di Amman, Yordania pada 1986.

Keputusan No. 21 (9/3), berbunyi, “Majlis Lembaga Fikih Islam menetapkan bahwa uang kartal mempunyai kriteria tsamaniyyah (harga/nilai). Hukumnya sama dengan hukum-hukum yang telah dijelaskan syariat tentang emas dan perak. Riba dapat terjadi pada uang kartal. Uang kartal terkena zakat dan dapat dijadikan modal dalam akad salam. serta seluruh hukum-hukum yang telah ditentukan.” (Journal Islamic Fiqh Council edisi III, jilid III, hal. 1.650) (PM)

Pull-Quote

Dinar Dirham cenderung stabil, karena nilainya bertumpu pada zatnya, dan bukan pengakuan masyarakat.

Ulama berbeda pendapat tentang illat riba pada emas dan perak:

  1. Illatnya adalah zatnya (jawhariyah ats-tsamaniyah). Karena itu, tidak berlaku riba untuk benda yang zatnya selain emas dan perak.
  2. Illat riba adalah status sebagai alat tukar (Muthlaq Ats-Tsamaniyyah), karena itu, riba berlaku untuk semua alat tukar.

Mata uang boleh berasal dari bahan selain emas dan perak, karena:

  1. Riwayat bahwa Umar Umar bin Khattab hendak membuat mata uang dari kulit unta.
  2. Segala sesuatu yang bisa diperjual-belikan dapat dijadikan sebagai alat tukar.
  3. Syariat tidak menentukan bahwa Dinar Dirham harus dicetak sebagai mata uang
  4. Material mata uang dikembalikan kepada urf yang berlaku di masyarakat.

Artikel asli: https://pengusahamuslim.com/5790-mata-uang-menurut-islam.html